Perusahaan saat
ini mengharapkan memiliki karyawan yang mampu mengerjakan beberapa tugas
sekaligus daripada hanya berada dalam satu ruang kecil dan mengerjakan
pekerjaan yang sama berulang-ulang. Untuk itu, perusahaan besar banyak yang
telah melatih ulang SDMnya untuk lingkup pekerjaan yang lebih luas. Analisis
pekerjaan (job analysis) dibutuhkan disini untuk memahami hubungan antara
pekerjaan yang lama dengan cakupan yang lebih luas. Analisis pekerjaan adalah
proses memperoleh informasi mengenai pekerjaan yang termasuk didalamnya
tugas-tugas yang harus dilakukan, karakteristik personal yang dibutuhkan, dls.
Job analysis ini
nantinya akan terdiri dari job description, yaitu ringkasan tertulis mengenai
tugas yang harus dilakukan, dan job specification, yang juga berupa ringkasan
tertulis namun mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki karyawan.
Dari job analysis nantinya dapat disusun pekerjaan/prosedur apa saja yang harus
dikuasai karyawan. Karyawan pada akhirnya akan diharuskan memahami dengan baik
keseluruhan pekerjaan, mengenali masalah yang terjadi, memberi penilaian dan
perbaikan, bahkan sampai membuat keputusan sendiri sehingga mereka akan
memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Job analysis memiliki banyak informasi yang berguna,
diantaranya :
1. Desain dan struktur organisasional : dengan kejelasan persyaratan kerja dan hubungannya antar pekerjaan, tanggungjawab dan efisiensi pada segala level bisa tercapai.
2. Perencanaan SDM : job analysis dapat digunakan sebagai dasar untuk memprediksi kebutuhan SDM sekaligus merencanakan pelatihan, perpindahan, atau promosi.
3. Evaluasi dan kompensasi kerja : evaluasi dapat diperoleh dari pemahaman deskripsi dan spesifikasi kerja, sehingga dapat menjadi acuan dalam memilih kompensasi.
4. Rekrutmen : apa yang terdapat didalam job analysis adalah informasi terpenting yang dibutuhkan untuk memeutuskan kebutuhan rekrutmen.
5. Penyeleksian : metode yang digunakan untuk menyeleksi calon karyawan harus berdasarkan tugas yang harus dilakukannya dan syarat-syarata yang dibutuhkan.
6. Penempatan : seringkali karyawan ditempatkan disalah satu posisi yang memungkinkan, lalu dipindah lagi keposisi lain yang ternyata lebih sesuai. Apabila dari awal penyeleksian sudah ada bayangan yang jelas mengenai spesifikasi pekerjaan dan syarat yang dibutuhkan, hal seperti ini tidak perlu terjadi.
7. Orientasi, pelatihan, dan pengembangan : deskripsi pekerjaan yang terus diperbaharui akan menjaga agar pelatihan yang diberikan hanya yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan saja sehingga menghindari biaya yang tidak perlu.
8. Penghargaan kinerja : dengan job analysis, syarat-syarat yang kritis dan tidak dapat dijelaskan, sehingga karyawan dapat mengetahuinya dan berusaha berkinerja baik.
9. Perencanaan jenjang karir : jika tidak ada pemahaman menyeluruh mengenai persyaratan pekerjaan ditingkat atas dan bagaimana pekerjaan saling berhubungan, jenjang karir tidak akan efektif.
10. Hubungan pekerja : informasi yang tersedia di job analysis membantu majemen dan serikat pekerja menyelesaikan masalah yang timbul dan bernegosiasi.
11. Pengembangan metode dan desain mesin : untuk mendesain peralatan untuk tugas tertentu, insinyur harus memahami dengan benar kemampuan operator dan apa yang mereka ingin kerjakan.
12. Rancangan pekerjaan : perubahan dalam menyelesaikan pekerjaan harus dievaluasi melalui job analysis, dengan berfokus pada tugas yang harus dilakukan dan persyaratan yang harus dimiliki.
13. Keamanan : ketika membuat job analysis, biasanya kondisi-kondisi yang berbahaya akan terlihat dengan sendirinya sehingga dapat diantisipasi.
14. Panduan dan konseling rehabilitasi : penjelasan dan spesifikasi kerja yang komprehensif akan memungkinkan karyawan membuat pilihan karir.
15. Sistem klasifikasi pekerjaan : system kerja termasuk juga rekrutmen, seleksi, penempatan, kompensasi, dls. Struktur didalam system kerja dapat ditentukan dari job analysis.
1. Desain dan struktur organisasional : dengan kejelasan persyaratan kerja dan hubungannya antar pekerjaan, tanggungjawab dan efisiensi pada segala level bisa tercapai.
2. Perencanaan SDM : job analysis dapat digunakan sebagai dasar untuk memprediksi kebutuhan SDM sekaligus merencanakan pelatihan, perpindahan, atau promosi.
3. Evaluasi dan kompensasi kerja : evaluasi dapat diperoleh dari pemahaman deskripsi dan spesifikasi kerja, sehingga dapat menjadi acuan dalam memilih kompensasi.
4. Rekrutmen : apa yang terdapat didalam job analysis adalah informasi terpenting yang dibutuhkan untuk memeutuskan kebutuhan rekrutmen.
5. Penyeleksian : metode yang digunakan untuk menyeleksi calon karyawan harus berdasarkan tugas yang harus dilakukannya dan syarat-syarata yang dibutuhkan.
6. Penempatan : seringkali karyawan ditempatkan disalah satu posisi yang memungkinkan, lalu dipindah lagi keposisi lain yang ternyata lebih sesuai. Apabila dari awal penyeleksian sudah ada bayangan yang jelas mengenai spesifikasi pekerjaan dan syarat yang dibutuhkan, hal seperti ini tidak perlu terjadi.
7. Orientasi, pelatihan, dan pengembangan : deskripsi pekerjaan yang terus diperbaharui akan menjaga agar pelatihan yang diberikan hanya yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan saja sehingga menghindari biaya yang tidak perlu.
8. Penghargaan kinerja : dengan job analysis, syarat-syarat yang kritis dan tidak dapat dijelaskan, sehingga karyawan dapat mengetahuinya dan berusaha berkinerja baik.
9. Perencanaan jenjang karir : jika tidak ada pemahaman menyeluruh mengenai persyaratan pekerjaan ditingkat atas dan bagaimana pekerjaan saling berhubungan, jenjang karir tidak akan efektif.
10. Hubungan pekerja : informasi yang tersedia di job analysis membantu majemen dan serikat pekerja menyelesaikan masalah yang timbul dan bernegosiasi.
11. Pengembangan metode dan desain mesin : untuk mendesain peralatan untuk tugas tertentu, insinyur harus memahami dengan benar kemampuan operator dan apa yang mereka ingin kerjakan.
12. Rancangan pekerjaan : perubahan dalam menyelesaikan pekerjaan harus dievaluasi melalui job analysis, dengan berfokus pada tugas yang harus dilakukan dan persyaratan yang harus dimiliki.
13. Keamanan : ketika membuat job analysis, biasanya kondisi-kondisi yang berbahaya akan terlihat dengan sendirinya sehingga dapat diantisipasi.
14. Panduan dan konseling rehabilitasi : penjelasan dan spesifikasi kerja yang komprehensif akan memungkinkan karyawan membuat pilihan karir.
15. Sistem klasifikasi pekerjaan : system kerja termasuk juga rekrutmen, seleksi, penempatan, kompensasi, dls. Struktur didalam system kerja dapat ditentukan dari job analysis.
Job analysis harus mencapai suatu rumusan mengenai karakteristik yang
dinamis dari pekerjaan, karena segala sesuatunya terus berubah. Perubahan
pekerjaan ini dapat dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu waktu, manusia, serta konteks
dan lingkungannya. Organisasi tradisional yang berbasis pada tugas harus
ditransformasikan menjadi berbasis pada proses. SDM tidaklah lagi cukup jika
hanya mengerti tugasnya tanpa memahami keseluruhan proses. Dengan memahami
proses, mereka akan lebih bertanggung jawab dalam memenuhi permintaan customer.
Ada 3 hal yang penting dalam organisasi yang berbasis pada proses :
- identifikasi spesifikasi pekerjaan (karakter pribadi, keahlian, kemampuan, dls)
- identifikasi lingkungan,
konteks, dan aspek sosial pekerjaan
perubahan dalam tekanan, dari menjelaskan pekerjaan ke menjelaskan peranan.
Ada beberapa
metode yang dapat digunakan untuk mempelajari pekerjaan, yang sebaiknya
digunakan secara berkombinasi, yaitu :
1. Kinerja
pekerjaan : peneliti harus mempelajari langsung untuk mengetahui apa yang
diminta.
2. Observasi : peneliti mengamati pekerja/sekelompok pekerja melakukan pekerjaannya, lalu merumuskan ‘apa’, ‘mengapa’, dan ‘bagaimana’ berbagai bagian dalam pekerjaan tersebut.
3. Wawancara : dalam hal peneliti tidak dapat mengamati langsung kegiatan pekerjaan (misalnya pekerjaan pilot), maka wawancara langsung dapat dilakukan. Wawancara ini juga efektif jika digabungkan dengan metode lainnya.
4. Insiden kritis : dari berbagai insiden kecil, dapat dikumpulkan suatu area pekerjaan umum yang dijelaskan.
5. kuisioner yang terstruktur : kuisioner ini berisi daftar tugas, perilaku, atau keduanya. Tugas akan menjawab pertanyaan ‘what’, sementara perilaku menjawab ‘how’. Metode yang digunakan ini harus diperhatikan agar tidak melenceng dari tujuan. Setelah mengidentifikasi perilaku yang dibutuhkan untuk pekerjaan, organisasi perlu mengidentifikasi jumlah dan keahlian yang diperlukan. Pemahaman mengenai kompetensi yang ada ini akan membantu perusahaan perencanaan pekerjaan baru yang searah dengan tujuan organisasi. Proses ini dikenal sebagai perencanaan tekanan kerja (workforce training), yang berarti perencanaan bagi siapa yang akan melakukan pekerjaan organisasi dan siapa yang tidak akan menjadi karyawannya. Ini adalah keputusan yang penting sebagai akibat dari globalisasi, penstrukturan ulang, outsourcing, leasing karywan, teknologi baru, dan diversitas dalam lingkungan kerja.
2. Observasi : peneliti mengamati pekerja/sekelompok pekerja melakukan pekerjaannya, lalu merumuskan ‘apa’, ‘mengapa’, dan ‘bagaimana’ berbagai bagian dalam pekerjaan tersebut.
3. Wawancara : dalam hal peneliti tidak dapat mengamati langsung kegiatan pekerjaan (misalnya pekerjaan pilot), maka wawancara langsung dapat dilakukan. Wawancara ini juga efektif jika digabungkan dengan metode lainnya.
4. Insiden kritis : dari berbagai insiden kecil, dapat dikumpulkan suatu area pekerjaan umum yang dijelaskan.
5. kuisioner yang terstruktur : kuisioner ini berisi daftar tugas, perilaku, atau keduanya. Tugas akan menjawab pertanyaan ‘what’, sementara perilaku menjawab ‘how’. Metode yang digunakan ini harus diperhatikan agar tidak melenceng dari tujuan. Setelah mengidentifikasi perilaku yang dibutuhkan untuk pekerjaan, organisasi perlu mengidentifikasi jumlah dan keahlian yang diperlukan. Pemahaman mengenai kompetensi yang ada ini akan membantu perusahaan perencanaan pekerjaan baru yang searah dengan tujuan organisasi. Proses ini dikenal sebagai perencanaan tekanan kerja (workforce training), yang berarti perencanaan bagi siapa yang akan melakukan pekerjaan organisasi dan siapa yang tidak akan menjadi karyawannya. Ini adalah keputusan yang penting sebagai akibat dari globalisasi, penstrukturan ulang, outsourcing, leasing karywan, teknologi baru, dan diversitas dalam lingkungan kerja.
Ada 3 jenis
perencanaan yang dapat dipraktekkan, yaitu :
a. Perencanaan strategic Adalah mengenai bagaimana mengubah aturan industri yang baku menjadi sesuatu yang baru. Didalam perencanaan ini termasuk : menentukan filosofi, memformulasi pernyataan identitas dan tujuan, mengevaluasi kekuatan, kelemahan, dan kedinamisan kompetitif, menentukan rancangan, mengembangkan strategi, dan membangun program. Yang paling menguntungkan dari perencanaan strategik adalah bahwa ia menekankan pada pertumbuhan dengan melihat pada peluang-peluang baru. Hasil-hasil yang ekstrim dapat berupa akuisisi bisnis baru, perubahan jalur produk, investasi modal baru, atau pendekatan manajemen yang baru.
b. Perencanaan taktis
Sering juga disebut perencanaan operasional, berkaitan dengan pengembangan
operasi yang ada saat ini ataupun yang baru. Perencanaannya dapat berupa
pembelian peralatan baru, kebutuhan akan perbaharuan produk yang sudah mencapai
masa maturity, dls.
c. Workforce planning. Perencanaan terhadap bisnis sebagai suatu kesatuan, misalnya berupa : apa dampak strategi bisnis yang baru bagi SDM perusahaan ?, apa saja kendala internal dan eksternal yang kita hadapi ?, dls.
c. Workforce planning. Perencanaan terhadap bisnis sebagai suatu kesatuan, misalnya berupa : apa dampak strategi bisnis yang baru bagi SDM perusahaan ?, apa saja kendala internal dan eksternal yang kita hadapi ?, dls.
Workforce training
ini bisa bervariasi dalam aplikasinya, bisa menjadi strategic (jangka panjang
dan bersifat umum) maupun taktis (jangka pendek dan spesifik). Bisa dilakukan
pada keseluruhan organisasi atau terbatas pada divisi, departemen, atau
kelompok pekerja tertentu. Meskipun demikian, para ahli meyakini bahwa WP
sangatlah efektif karena WP pasti dihubungkan dengan berbagai perencanaan
bisnis umum yang berbeda level. WP bukan merupakan tujuan akhir, tapi lebih ke
akhir dari pembangunan organisasi yang lebih kompetitif. Pada level perencanaan
strategic, WP berurusan dengan isu-isu seperti menelusuri implikasi manajemen
terhadap kebutuhan bisnis dimasa depan, menelusuri factor eksternal perusahaan,
dls. Sedangkan pada level operasional/taktis, WP berurusan dengan prediksi
detail mengenai penawaran dan permintaan karyawan, sehingga pada akhirnya
perencanaan yang spesifik dapat dilakukan.
Dasar-dasar bagi
workforce planning, termasuk perencanaan tujuan SDM yang bisa sanagt bervariasi
tergantung dari jenis lingkungan perusahaan, perencanaan strategic dan
taktisnya, dan rancangan pekerjaan saat ini serta perilaku karyawan. Pada
dasarnya tujuan ini dapat berupa perilaku (mis : “pada akhir minggu ini kamu
harus sudah menguasai…”) atau berupa hasil akhir (mis: “pada akhir tahun 2007,
kita harus sudah memiliki 5 gerai tambahan di..”). Sedangkan untuk pengendalian
biaya pada kompensasi, dapat diajukan beberapa pertanyaan yang efektif seperti
: “Berapa karyawan yang akan dipekerjakan?”, “Berapa yang harus kita bayara
untuk menarik karyawan yang lebih banyak?”, “Berapa jumlah karyawan yang akan
berubah jika upah dinaikkan/diturunkan?”, dls.
Setelah tujuan SDM
dirancang, perusahaan dapat membandingkan jumlah, keahlian, dan pengalaman dari
karyawan yang ada saat ini dengan yang akan dibutuhkan pada jangka waktu
tertentu di masa mendatang. Persediaan bakat saat ini akan mengerjakan tekanan kerja
ssat ini, sementara prediksi penawaran dan permintaan tekanan kerja akan
membantu menjelaskan kebutuhan dimasa depan. Keduanya harus saling melengkapi
satu sama lain. Selain itu, beberapa kegunaan lain dari persediaan bakat adalah
identifikasi kandidat untuk
dipromosikan, perencanaan keberhasilan manajemen, penugasan ke proyek yang
special, pemindahan, pelatihan, perencanaan dan pelaporan pelatihan diversitas
kerja, perencanaan kompensasi dan karir, serta analisis organisasional.
Untuk memprediksi penawaran workforce ekternal, perusahaan dapat
menggunakan hasil proyeksi dari agen-agen ketenagakerjaan. Sementara untuk
penawaran workforce internal, perusahaan dapat mendasarkan pada ketersediaan
workforce saat ini. Perusahaan dapat membuat perencanaan untuk periode jauh
kedepan. Perencanaannya bisa meliputi identifikasi kandidat pengganti untuk
posisi kunci, menelusuri kinerja saat ini dan kesiapan untuk promosi,
identifikasi kebutuhan pengembagan kebutuhan karir, dls.
Sedangkan untuk memprediksi permintaan tekanan kerja, teknik Delphi dapat digunakan. Namun harus diperhatikan bahwa keakuratan prediksi sangatlah bervariasi. Faktor seperti durasi perencanaan kedepan, kualitas data yang digunakan sebagai dasar prediksi, dan tingkat integrasi WP dengan perencanaan bisnis strategik sangat berpengaruh dalam keakuratan.
Sedangkan untuk memprediksi permintaan tekanan kerja, teknik Delphi dapat digunakan. Namun harus diperhatikan bahwa keakuratan prediksi sangatlah bervariasi. Faktor seperti durasi perencanaan kedepan, kualitas data yang digunakan sebagai dasar prediksi, dan tingkat integrasi WP dengan perencanaan bisnis strategik sangat berpengaruh dalam keakuratan.
·
Setelah perencanaan WP dijalankan, perlu ada kontrol dan
evaluasi untuk menuntun aktivitas WP dan menidentifikasi deviasi yang terjadi
dari rencana dan akibat-akibatnya. Disini, tujuan kuantitatif maupun kualitatif
dapat digunakan. Untuk kunci-kunci perbandingannya dapat berupa perbandingan :
·
Staffing level yang sebenarnya dengan prediksi kebutuhan
staffing.
Tingkat produktivitas pekerja yang sesungguhnya dengan level produktivitas minimal yang dikehendaki.
Biaya atas program dan pekerja dengan anggaran yang direncanakan.Dan lain sebagainya.
Tingkat produktivitas pekerja yang sesungguhnya dengan level produktivitas minimal yang dikehendaki.
Biaya atas program dan pekerja dengan anggaran yang direncanakan.Dan lain sebagainya.
Tujuan yang kuantitatif akan membuat proses pengendalian dan evaluasi lebih
objektif dan dapat mrngukur deviasi dari kinerja yang diharapkan secara lebih
tepat. Keuntungan dari informasi kuantitatif ini adalah area masalah yang
potensial dapat digarisbawahi dan dapat menyediakan dasar-dasar untuk ide-ide
yang membangun.
(Mohon maaf sebelumnya, tulisan ini merupakan ringkasan dan terjemahan dari
sebuah buku Human Resources Management, tapi saya lupa judul dan pengarangnya.)
ada
prinsip-prinsip umum struktur organisasi yang melekat pada semua organisasi?
Apakah konteks organisasi –antara lain ukuran, kepemilikan, lokasi geografis,
teknologi manufaktur- menentukan struktur yang tepat? Berapa lama waktu yang
dibutuhkan manajemen sebuah perusahaan ketika ia harus merancang organisasi di
awal dan kemudian mengubahnya?
Banyak
pertanyaan lainnya yang diajukan DS Pugh sebelum ia mencoba menguraikan
jawabannya. Apakah konteks penting dalam menentukan struktur yang tepat sebuah
organisasi? Apakah organisasi harus sentralistis? Apakah manajerial harus
terspesialisasi? Apakah struktur organisasi harus “tall” (sangat struktural) atau “flat” (struktur
datar atau kehilangan struktur)?
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu Pugh mensurvei 52 organisasi berbagai jenis.
Ada tiga tujuan dari survei itu: (1) Menentukan cara organisasi menstruktur
kegiatannya; (2) Melihat apakah mungkin membuat metoda-metoda pengukuran
perbedaan struktural antara organisasi-organisasi yang sahih secara statistik
dan dengan tingkat kepercayaan tinggi; (3) Menguji apa hambatan konteks
organisasi (ukuran, teknologi, kepemilikan, dan lain-lain) ketika diterapkan
pada struktur manajemennya.
Ada enam
variabel utama atau dimensi struktur organisasi yang diukur yaitu:
1. Spesialisasi (specialization) –
tingkatan atau derajat aktivitas organisasi dibagi ke dalam peran-peran yang
terspesialisasi. Apakah tugas tertentu di organisasi dipegang oleh pegawai yang
memiliki keterampilan khusus yang sesuai dengan tugas itu? Misalnya, tugas
pengembangan sumber daya manusia dipegang oleh karyawan yang memiliki
spesialisasi pelatihan dan pendidikan.
2. Standarisasi (standardization) –
tingkatan atau derajat organisasi menentukan aturan dan prosedur standar. Apakah ada prosedur khusus
untuk memastikan perkembangan organisasi seperti program litbang.
3.
Standarisasi
kepegawaian (standardization
of employment practices). Apakah
organisasi memiliki ketentuan dalam merekrut pegawai? Misalnya, apakah ada
prosedur wawancara karyawan? Apakah ada peraturan kerja atau karyawan terkait dengan
disiplin dan sanksi?
4. Formalisasi (formalization) –
tingkatan atau derajat instruksi, prosedur dan lainnya yang tertulis. Apakah
organisasi memiliki peraturan yang dibukukan? Apakah ada deskripsi kerja yang
tertulis?
5. Sentralisasi (sentralization) –
tingkatan atau derajat otoritas pengambilan keputusan yang terjadi di puncak
hirarki manajemen. Sentralisasi terkait dengan otoritas yang berada di puncak
hirarki atau tersebar.
6. Konfigurasi (configuration) –
“bentuk” dari peran, struktur organisasi, misalnya apakah rantai komando
panjang atau pendek, apakah atasan memiliki rentang kendali luas atau sempit
dibandingkan bawahannya, apakah jumlah bawahannya banyak atau sedikit.
Misalnya, banyak-sedikitnya jumlah bawahan langsung dan tidak langsung seorang
supervisor akan mempengaruhi angka konfigurasi.
Pugh
membatasi survei hanya untuk organisasi yang memiliki karyawan (yang mendapat
bayaran atau gaji) lebih dari 150 orang. Dari 52 organisasi yang
disurvei, Pugh memilih enam organisasi untuk dikonstruksi profil strukturalnya.
Enam organisasi itu adalah dua organisasi pemerintah, empat perusahaan swasta
dengan bentuk kepemilikan yang berbeda-beda (satu perusahaan milik keluarga,
satu perusahaan keluarga yang juga dimiliki oleh karyawannya, cabang perusahaan
publik ukuran besar, dan perusahaan publik berukuran sedang). Setiap
dimensi diberi nilai untuk mendapatkan skala atau nilai.
Profil
organisasi-organisasi itu tidak ada yang sama meskipun ada kemiripan,
kesimpulannya. Misalnya, organisasi A yaitu departemen layanan publik
kotamadya seharusnya mendapatkan skor tinggi untuk enam dimensi. Seharusnya
organisasi A ini memiliki spesialisasi tinggi, prosedur kerja terstandarisasi
dan sangat formal, memiliki dokumen tertulis yang mengatur semua tugas, dan
mencatat semuanya. Organisasi ini juga akan sangat sentral dalam pengambilan
keputusan. Semua keputusan harus diketahui oleh pejabat paling tinggi.
Kenyataanya organisasi A jauh dari bentuk klasik birokrasi Weber. Nilai
spesialisasi dan formalisasi jauh di bawah standar.
Organisasi
B mewakili perusahaan milik keluarga yang dikelola secara tradisional, tidak
terstruktur. Meskipun nilai spesialisasinya tinggi karena tergolong perusahaan
manufaktur, tetapi perusahaan B ini minim standarisasi prosedur dan formalitas
yang tertulis.
Organisasi
C mewakili perusahaan bisnis besar sebagai cabang perusahaan sangat besar.
Profilnya menggambarkan pengaruh ukuran perusahaan yaitu umumnya nilai tinggi
untuk standarisasi, spesialisasi, dan formalitas, dan desentralisasi. Dari ciri
organisasi C ini menunjukkan semakin terspesialisasi, terstandarisasi, dan
formal sebuah organisasi akan semakin kurang sentralisasinya atau lebih desentralisasi
sifatnya.
Bukan
hanya masalah pengaruh ukuran organisasi, kebijakan dan perilaku manajemen juga
mempengaruhi strukturnya meskipun faktor ukuran, teknologi, dan kepemilikan
menentukan bagaimana manajemen berfungsi. Organisasi D, yang mewakili perusahaan
keluarga yang juga dimiliki pekerjanya, memiliki jumlah karyawan yang sama
dengan organisasi perusahaan keluarga murni (organisasi B) tetapi strukturnya
jauh berbeda. Struktur
organisasi D mendekati perusahaan besar.
Organisasi
E adalah unit manufaktur milik pemerintah dengan karakteristik nilai
sentralisasi dan formalisasi tinggi. Jika dibandingkan dengan organisasi D,
keduanya bisa disebut “birokratis” tetapi dalam bentuk dan cara yang berbeda.
Skor
organisasi F untuk semua dimensi rendah yang menunjukkan tipikal organisasi
ritel.
Menganalisis
konteks organisasi
Survei
sebagai upaya mengukur struktur memunculkan pertanyaan baru: apakah organisasi
dengan ukuran berbeda juga memiliki struktur yang berbeda? Apakah organisasi
dengan tingkat penerapan teknologi canggih dibandingkan teknologi sederhana
mempengaruhi strukturnya? Demikian juga, apakah kepemilikan mempengaruhi
struktur organisasinya?
Selain
mengukur struktur, Pugh menilai perlu mengukur aspek non-struktural. Sebagai
panduan untuk mengukur dimensi konteks non-struktural Pugh menetapkan dimensi
dasar dari konteks organisasi yaitu:
1. Asal-usul dan sejarah
(origin and history) – apakah
organisasi didirikan oleh swasta, apakah terjadi perubahan kepemilikan, dan
lokasi yang menjadi sejarahnya
2.
Kepemilikan
dan
kontrol
(ownership
and control) – jenis
kepemilikan (swasta atau publik) dan apakah terkonsentrasi pada sedikit pemilik
atau banyak pemilik
3. Ukuran (size) – jumlah
karyawan, aset, posisi di pasar.
4. Teknologi (technology) –
tingkat integrasi dalam proses kerja
5. Lokasi (location) –
penyebaran cabang operasionalnya
6. Saling ketergantungan
(interdependence)
– seberapa jauh organisasi tergantung pada konsumen, pemasok, serikat buruh,
dan kelompok pemilik lainnya.
Dimensi
konteks ini memungkinkan peneliti mencari hubungan, misalnya, antara
spesialisasi sebagai fungsi dari ukuran organisasi. Sejauh mana ukuran
berasosiasi atau berhubungan dengan spesialisasi? Pugh mengukur korelasi antara
ukuran dengan keseluruhan spesialisasi peran 0,75. Berarti ukuran akan
mempengaruhi spesialisasi.
Kemudian
bagaimana asal-usul dan sejarah organisasi mempengaruhi struktur atau dimensi
struktur. Bagaimana hubungan antara ukuran, teknologi, lokasi, kepemilikan, dan
saling ketergantungan, dengan dimensi struktur. Konteks menjadi faktor penentu.
Pengaruh
teknologi pada organisasi
Apakah
teknologi menentukan organisasi? Joan Woodward dalam bukunya “Management and
Technology” menjelaskan adalah mungkin melacak hubungan sebab dan akibat antara
sebuah sistem produksi dan pola organisasi, sehingga bisa memperkirakan
persyaratan organisasi sebuah perusahaan sesuai dengan sistem produksinya.
Woodward
mendapatkan kesimpulan itu dari hasil membandingkan unit-unit besar-kecil 80
perusahaan dan klasifikasi proses. Ia menemukan antara lain garis komando dari
CEO pendek pada unit yang kecil dan panjang pada unit yang lebih besar.
Untuk
mengukur pengaruh teknologi, menggunakan kategori Woodward, menggunakan dasar
yang disebut “Workflow Integration” (Integrasi Proses Kerja). Workflow
Integration terkait dengan jenis teknologi yang digunakan. Integrasi proses
kerja yang tinggi ditentukan sifat teknologi peralatan yang digunakan dalam
proses produksi.
Misalnya,
jika perusahaan menggunakan peralatan berteknologi otomatis maka nilai integrasi
proses kerjanya tinggi. Sebaliknya, jika prosesnya tidak otomatis, nilai
integrasi proses kerja rendah. Contohnya, proses di pabrik rokok Sampurna.
Proses pembuatan rokok putih berfilter menggunakan peralatan otomatis.
Pembuatan rokok Djie Sam Soe tanpa filter manual tanpa mesin otomatis dan
menggunakan keterampilan pelinting.
Apakah
organisasi yang proses produksinya sangat berorientasi pada teknologi (nilai
integrasi proses kerja teknologinya tinggi) akan juga tinggi nilai
spesialisasinya, standarisasinya? Dari studi pertama, untuk perusahaan
manufaktur saja, korelasi teknologi Woodward dengan standarisasi adalah 0,52.
Bisa dibilang, teknologi manufaktur berkorelasi dengan struktur manajemen.
Korelasi ukuran dengan spesialisasi (nilai korelasi 0,83) dan dengan
standarisasi (nilai 0,65), lebih tinggi dibandingkan dengan nilai korelasi
dengan teknologi.
Secara
umum, hubungan teknologi dengan dimensi struktural pada organisasi manufaktur
sangat kecil dan relatif tidak terlalu penting dibandingkan dengan konteks
organisasi seperti ukuran dan saling ketergantungan dengan organisasi lainnya
(seperti dengan pelanggan). Teknologi kecil pengaruhnya pada struktur
organisasi. Kecuali, teknologi menunjukkan ada hubungan dengan struktur
perusahaan manufaktur pada dimensi struktur konfigurasi. Pilihan teknologi akan
berpengaruh pada banyaknya bawahan satu supervisor pada satu unit produksi
masal perusahaan manufaktur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar