Rabu, 12 Februari 2014

Analisa Job Description



Perusahaan saat ini mengharapkan memiliki karyawan yang mampu mengerjakan beberapa tugas sekaligus daripada hanya berada dalam satu ruang kecil dan mengerjakan pekerjaan yang sama berulang-ulang. Untuk itu, perusahaan besar banyak yang telah melatih ulang SDMnya untuk lingkup pekerjaan yang lebih luas. Analisis pekerjaan (job analysis) dibutuhkan disini untuk memahami hubungan antara pekerjaan yang lama dengan cakupan yang lebih luas. Analisis pekerjaan adalah proses memperoleh informasi mengenai pekerjaan yang termasuk didalamnya tugas-tugas yang harus dilakukan, karakteristik personal yang dibutuhkan, dls.
Job analysis ini nantinya akan terdiri dari job description, yaitu ringkasan tertulis mengenai tugas yang harus dilakukan, dan job specification, yang juga berupa ringkasan tertulis namun mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki karyawan. Dari job analysis nantinya dapat disusun pekerjaan/prosedur apa saja yang harus dikuasai karyawan. Karyawan pada akhirnya akan diharuskan memahami dengan baik keseluruhan pekerjaan, mengenali masalah yang terjadi, memberi penilaian dan perbaikan, bahkan sampai membuat keputusan sendiri sehingga mereka akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Job analysis memiliki banyak informasi yang berguna, diantaranya :
1. Desain dan struktur organisasional : dengan kejelasan persyaratan kerja dan hubungannya antar pekerjaan, tanggungjawab dan efisiensi pada segala level bisa tercapai.
2. Perencanaan SDM : job analysis dapat digunakan sebagai dasar untuk memprediksi kebutuhan SDM sekaligus merencanakan pelatihan, perpindahan, atau promosi.
3. Evaluasi dan kompensasi kerja : evaluasi dapat diperoleh dari pemahaman deskripsi dan spesifikasi kerja, sehingga dapat menjadi acuan dalam memilih kompensasi.
4. Rekrutmen : apa yang terdapat didalam job analysis adalah informasi terpenting yang dibutuhkan untuk memeutuskan kebutuhan rekrutmen.
5. Penyeleksian : metode yang digunakan untuk menyeleksi calon karyawan harus berdasarkan tugas yang harus dilakukannya dan syarat-syarata yang dibutuhkan.
6. Penempatan : seringkali karyawan ditempatkan disalah satu posisi yang memungkinkan, lalu dipindah lagi keposisi lain yang ternyata lebih sesuai. Apabila dari awal penyeleksian sudah ada bayangan yang jelas mengenai spesifikasi pekerjaan dan syarat yang dibutuhkan, hal seperti ini tidak perlu terjadi.
7. Orientasi, pelatihan, dan pengembangan : deskripsi pekerjaan yang terus diperbaharui akan menjaga agar pelatihan yang diberikan hanya yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan saja sehingga menghindari biaya yang tidak perlu.
8. Penghargaan kinerja : dengan job analysis, syarat-syarat yang kritis dan tidak dapat dijelaskan, sehingga karyawan dapat mengetahuinya dan berusaha berkinerja baik.
9. Perencanaan jenjang karir : jika tidak ada pemahaman menyeluruh mengenai persyaratan pekerjaan ditingkat atas dan bagaimana pekerjaan saling berhubungan, jenjang karir tidak akan efektif.
10. Hubungan pekerja : informasi yang tersedia di job analysis membantu majemen dan serikat pekerja menyelesaikan masalah yang timbul dan bernegosiasi.
11. Pengembangan metode dan desain mesin : untuk mendesain peralatan untuk tugas tertentu, insinyur harus memahami dengan benar kemampuan operator dan apa yang mereka ingin kerjakan.
12. Rancangan pekerjaan : perubahan dalam menyelesaikan pekerjaan harus dievaluasi melalui job analysis, dengan berfokus pada tugas yang harus dilakukan dan persyaratan yang harus dimiliki.
13. Keamanan : ketika membuat job analysis, biasanya kondisi-kondisi yang berbahaya akan terlihat dengan sendirinya sehingga dapat diantisipasi.
14. Panduan dan konseling rehabilitasi : penjelasan dan spesifikasi kerja yang komprehensif akan memungkinkan karyawan membuat pilihan karir.
15. Sistem klasifikasi pekerjaan : system kerja termasuk juga rekrutmen, seleksi, penempatan, kompensasi, dls. Struktur didalam system kerja dapat ditentukan dari job analysis.
Job analysis harus mencapai suatu rumusan mengenai karakteristik yang dinamis dari pekerjaan, karena segala sesuatunya terus berubah. Perubahan pekerjaan ini dapat dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu waktu, manusia, serta konteks dan lingkungannya. Organisasi tradisional yang berbasis pada tugas harus ditransformasikan menjadi berbasis pada proses. SDM tidaklah lagi cukup jika hanya mengerti tugasnya tanpa memahami keseluruhan proses. Dengan memahami proses, mereka akan lebih bertanggung jawab dalam memenuhi permintaan customer.
Ada 3 hal yang penting dalam organisasi yang berbasis pada proses :
  • identifikasi spesifikasi pekerjaan (karakter pribadi, keahlian, kemampuan, dls)
  • identifikasi lingkungan, konteks, dan aspek sosial pekerjaan
    perubahan dalam tekanan, dari menjelaskan pekerjaan ke menjelaskan peranan.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mempelajari pekerjaan, yang sebaiknya digunakan secara berkombinasi, yaitu :
1. Kinerja pekerjaan : peneliti harus mempelajari langsung untuk mengetahui apa yang diminta.
2. Observasi : peneliti mengamati pekerja/sekelompok pekerja melakukan pekerjaannya, lalu merumuskan ‘apa’, ‘mengapa’, dan ‘bagaimana’ berbagai bagian dalam pekerjaan tersebut.
3. Wawancara : dalam hal peneliti tidak dapat mengamati langsung kegiatan pekerjaan (misalnya pekerjaan pilot), maka wawancara langsung dapat dilakukan. Wawancara ini juga efektif jika digabungkan dengan metode lainnya.
4. Insiden kritis : dari berbagai insiden kecil, dapat dikumpulkan suatu area pekerjaan umum yang dijelaskan.
5. kuisioner yang terstruktur : kuisioner ini berisi daftar tugas, perilaku, atau keduanya. Tugas akan menjawab pertanyaan ‘what’, sementara perilaku menjawab ‘how’. Metode yang digunakan ini harus diperhatikan agar tidak melenceng dari tujuan. Setelah mengidentifikasi perilaku yang dibutuhkan untuk pekerjaan, organisasi perlu mengidentifikasi jumlah dan keahlian yang diperlukan. Pemahaman mengenai kompetensi yang ada ini akan membantu perusahaan perencanaan pekerjaan baru yang searah dengan tujuan organisasi. Proses ini dikenal sebagai perencanaan tekanan kerja (workforce training), yang berarti perencanaan bagi siapa yang akan melakukan pekerjaan organisasi dan siapa yang tidak akan menjadi karyawannya. Ini adalah keputusan yang penting sebagai akibat dari globalisasi, penstrukturan ulang, outsourcing, leasing karywan, teknologi baru, dan diversitas dalam lingkungan kerja.
Ada 3 jenis perencanaan yang dapat dipraktekkan, yaitu :

a. Perencanaan strategic Adalah mengenai bagaimana mengubah aturan industri yang baku menjadi sesuatu yang baru. Didalam perencanaan ini termasuk : menentukan filosofi, memformulasi pernyataan identitas dan tujuan, mengevaluasi kekuatan, kelemahan, dan kedinamisan kompetitif, menentukan rancangan, mengembangkan strategi, dan membangun program. Yang paling menguntungkan dari perencanaan strategik adalah bahwa ia menekankan pada pertumbuhan dengan melihat pada peluang-peluang baru. Hasil-hasil yang ekstrim dapat berupa akuisisi bisnis baru, perubahan jalur produk, investasi modal baru, atau pendekatan manajemen yang baru.
b. Perencanaan taktis Sering juga disebut perencanaan operasional, berkaitan dengan pengembangan operasi yang ada saat ini ataupun yang baru. Perencanaannya dapat berupa pembelian peralatan baru, kebutuhan akan perbaharuan produk yang sudah mencapai masa maturity, dls.
c. Workforce planning. Perencanaan terhadap bisnis sebagai suatu kesatuan, misalnya berupa : apa dampak strategi bisnis yang baru bagi SDM perusahaan ?, apa saja kendala internal dan eksternal yang kita hadapi ?, dls.
Workforce training ini bisa bervariasi dalam aplikasinya, bisa menjadi strategic (jangka panjang dan bersifat umum) maupun taktis (jangka pendek dan spesifik). Bisa dilakukan pada keseluruhan organisasi atau terbatas pada divisi, departemen, atau kelompok pekerja tertentu. Meskipun demikian, para ahli meyakini bahwa WP sangatlah efektif karena WP pasti dihubungkan dengan berbagai perencanaan bisnis umum yang berbeda level. WP bukan merupakan tujuan akhir, tapi lebih ke akhir dari pembangunan organisasi yang lebih kompetitif. Pada level perencanaan strategic, WP berurusan dengan isu-isu seperti menelusuri implikasi manajemen terhadap kebutuhan bisnis dimasa depan, menelusuri factor eksternal perusahaan, dls. Sedangkan pada level operasional/taktis, WP berurusan dengan prediksi detail mengenai penawaran dan permintaan karyawan, sehingga pada akhirnya perencanaan yang spesifik dapat dilakukan.
Dasar-dasar bagi workforce planning, termasuk perencanaan tujuan SDM yang bisa sanagt bervariasi tergantung dari jenis lingkungan perusahaan, perencanaan strategic dan taktisnya, dan rancangan pekerjaan saat ini serta perilaku karyawan. Pada dasarnya tujuan ini dapat berupa perilaku (mis : “pada akhir minggu ini kamu harus sudah menguasai…”) atau berupa hasil akhir (mis: “pada akhir tahun 2007, kita harus sudah memiliki 5 gerai tambahan di..”). Sedangkan untuk pengendalian biaya pada kompensasi, dapat diajukan beberapa pertanyaan yang efektif seperti : “Berapa karyawan yang akan dipekerjakan?”, “Berapa yang harus kita bayara untuk menarik karyawan yang lebih banyak?”, “Berapa jumlah karyawan yang akan berubah jika upah dinaikkan/diturunkan?”, dls.
Setelah tujuan SDM dirancang, perusahaan dapat membandingkan jumlah, keahlian, dan pengalaman dari karyawan yang ada saat ini dengan yang akan dibutuhkan pada jangka waktu tertentu di masa mendatang. Persediaan bakat saat ini akan mengerjakan tekanan kerja ssat ini, sementara prediksi penawaran dan permintaan tekanan kerja akan membantu menjelaskan kebutuhan dimasa depan. Keduanya harus saling melengkapi satu sama lain. Selain itu, beberapa kegunaan lain dari persediaan bakat adalah identifikasi  kandidat untuk dipromosikan, perencanaan keberhasilan manajemen, penugasan ke proyek yang special, pemindahan, pelatihan, perencanaan dan pelaporan pelatihan diversitas kerja, perencanaan kompensasi dan karir, serta analisis organisasional.
Untuk memprediksi penawaran workforce ekternal, perusahaan dapat menggunakan hasil proyeksi dari agen-agen ketenagakerjaan. Sementara untuk penawaran workforce internal, perusahaan dapat mendasarkan pada ketersediaan workforce saat ini. Perusahaan dapat membuat perencanaan untuk periode jauh kedepan. Perencanaannya bisa meliputi identifikasi kandidat pengganti untuk posisi kunci, menelusuri kinerja saat ini dan kesiapan untuk promosi, identifikasi kebutuhan pengembagan kebutuhan karir, dls.
Sedangkan untuk memprediksi permintaan tekanan kerja, teknik Delphi dapat digunakan. Namun harus diperhatikan bahwa keakuratan prediksi sangatlah bervariasi. Faktor seperti durasi perencanaan kedepan, kualitas data yang digunakan sebagai dasar prediksi, dan tingkat integrasi WP dengan perencanaan bisnis strategik sangat berpengaruh dalam keakuratan.
·         Setelah perencanaan WP dijalankan, perlu ada kontrol dan evaluasi untuk menuntun aktivitas WP dan menidentifikasi deviasi yang terjadi dari rencana dan akibat-akibatnya. Disini, tujuan kuantitatif maupun kualitatif dapat digunakan. Untuk kunci-kunci perbandingannya dapat berupa perbandingan :
·         Staffing level yang sebenarnya dengan prediksi kebutuhan staffing.
Tingkat produktivitas pekerja yang sesungguhnya dengan level produktivitas minimal yang dikehendaki.
Biaya atas program dan pekerja dengan anggaran yang direncanakan.Dan lain sebagainya.
Tujuan yang kuantitatif akan membuat proses pengendalian dan evaluasi lebih objektif dan dapat mrngukur deviasi dari kinerja yang diharapkan secara lebih tepat. Keuntungan dari informasi kuantitatif ini adalah area masalah yang potensial dapat digarisbawahi dan dapat menyediakan dasar-dasar untuk ide-ide yang membangun.
(Mohon maaf sebelumnya, tulisan ini merupakan ringkasan dan terjemahan dari sebuah buku Human Resources Management, tapi saya lupa judul dan pengarangnya.)
ada prinsip-prinsip umum struktur organisasi yang melekat pada semua organisasi? Apakah konteks organisasi –antara lain ukuran, kepemilikan, lokasi geografis, teknologi manufaktur- menentukan struktur yang tepat? Berapa lama waktu yang dibutuhkan manajemen sebuah perusahaan ketika ia harus merancang organisasi di awal dan kemudian mengubahnya?
Banyak pertanyaan lainnya yang diajukan DS Pugh sebelum ia mencoba menguraikan jawabannya. Apakah konteks penting dalam menentukan struktur yang tepat sebuah organisasi? Apakah organisasi harus sentralistis? Apakah manajerial harus terspesialisasi? Apakah struktur organisasi harus “tall” (sangat struktural) atau “flat” (struktur datar atau kehilangan struktur)?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu Pugh mensurvei 52 organisasi berbagai jenis. Ada tiga tujuan dari survei itu: (1) Menentukan cara organisasi menstruktur kegiatannya; (2) Melihat apakah mungkin membuat metoda-metoda pengukuran perbedaan struktural antara organisasi-organisasi yang sahih secara statistik dan dengan tingkat kepercayaan tinggi; (3) Menguji apa hambatan konteks organisasi (ukuran, teknologi, kepemilikan, dan lain-lain) ketika diterapkan pada struktur manajemennya.
Ada enam variabel utama atau dimensi struktur organisasi yang diukur yaitu:
1. Spesialisasi (specialization) – tingkatan atau derajat aktivitas organisasi dibagi ke dalam peran-peran yang terspesialisasi. Apakah tugas tertentu di organisasi dipegang oleh pegawai yang memiliki keterampilan khusus yang sesuai dengan tugas itu? Misalnya, tugas pengembangan sumber daya manusia dipegang oleh karyawan yang memiliki spesialisasi pelatihan dan pendidikan.
2. Standarisasi (standardization) – tingkatan atau derajat organisasi menentukan aturan dan prosedur standar. Apakah ada prosedur khusus untuk memastikan perkembangan organisasi seperti program litbang.
3. Standarisasi kepegawaian (standardization of employment practices). Apakah organisasi memiliki ketentuan dalam merekrut pegawai? Misalnya, apakah ada prosedur wawancara karyawan? Apakah ada peraturan kerja atau karyawan terkait dengan disiplin dan sanksi?
4. Formalisasi (formalization) – tingkatan atau derajat instruksi, prosedur dan lainnya yang tertulis. Apakah organisasi memiliki peraturan yang dibukukan? Apakah ada deskripsi kerja yang tertulis?
5. Sentralisasi (sentralization) – tingkatan atau derajat otoritas pengambilan keputusan yang terjadi di puncak hirarki manajemen. Sentralisasi terkait dengan otoritas yang berada di puncak hirarki atau tersebar.
6. Konfigurasi (configuration) – “bentuk” dari peran, struktur organisasi, misalnya apakah rantai komando panjang atau pendek, apakah atasan memiliki rentang kendali luas atau sempit dibandingkan bawahannya, apakah jumlah bawahannya banyak atau sedikit. Misalnya, banyak-sedikitnya jumlah bawahan langsung dan tidak langsung seorang supervisor akan mempengaruhi angka konfigurasi.
Pugh membatasi survei hanya untuk organisasi yang memiliki karyawan (yang mendapat bayaran atau gaji) lebih dari 150 orang. Dari 52 organisasi yang disurvei, Pugh memilih enam organisasi untuk dikonstruksi profil strukturalnya. Enam organisasi itu adalah dua organisasi pemerintah, empat perusahaan swasta dengan bentuk kepemilikan yang berbeda-beda (satu perusahaan milik keluarga, satu perusahaan keluarga yang juga dimiliki oleh karyawannya, cabang perusahaan publik ukuran besar, dan perusahaan publik berukuran sedang). Setiap dimensi diberi nilai untuk mendapatkan skala atau nilai.
Profil organisasi-organisasi itu tidak ada yang sama meskipun ada kemiripan, kesimpulannya. Misalnya, organisasi A yaitu departemen layanan publik kotamadya seharusnya mendapatkan skor tinggi untuk enam dimensi. Seharusnya organisasi A ini memiliki spesialisasi tinggi, prosedur kerja terstandarisasi dan sangat formal, memiliki dokumen tertulis yang mengatur semua tugas, dan mencatat semuanya. Organisasi ini juga akan sangat sentral dalam pengambilan keputusan. Semua keputusan harus diketahui oleh pejabat paling tinggi. Kenyataanya organisasi A jauh dari bentuk klasik birokrasi Weber. Nilai spesialisasi dan formalisasi jauh di bawah standar.
Organisasi B mewakili perusahaan milik keluarga yang dikelola secara tradisional, tidak terstruktur. Meskipun nilai spesialisasinya tinggi karena tergolong perusahaan manufaktur, tetapi perusahaan B ini minim standarisasi prosedur dan formalitas yang tertulis.
Organisasi C mewakili perusahaan bisnis besar sebagai cabang perusahaan sangat besar. Profilnya menggambarkan pengaruh ukuran perusahaan yaitu umumnya nilai tinggi untuk standarisasi, spesialisasi, dan formalitas, dan desentralisasi. Dari ciri organisasi C ini menunjukkan semakin terspesialisasi, terstandarisasi, dan formal sebuah organisasi akan semakin kurang sentralisasinya atau lebih desentralisasi sifatnya.
Bukan hanya masalah pengaruh ukuran organisasi, kebijakan dan perilaku manajemen juga mempengaruhi strukturnya meskipun faktor ukuran, teknologi, dan kepemilikan menentukan bagaimana manajemen berfungsi. Organisasi D, yang mewakili perusahaan keluarga yang juga dimiliki pekerjanya, memiliki jumlah karyawan yang sama dengan organisasi perusahaan keluarga murni (organisasi B) tetapi strukturnya jauh berbeda. Struktur organisasi D mendekati perusahaan besar.
Organisasi E adalah unit manufaktur milik pemerintah dengan karakteristik nilai sentralisasi dan formalisasi tinggi. Jika dibandingkan dengan organisasi D, keduanya bisa disebut “birokratis” tetapi dalam bentuk dan cara yang berbeda.
Skor organisasi F untuk semua dimensi rendah yang menunjukkan tipikal organisasi ritel.

Menganalisis konteks organisasi
Survei sebagai upaya mengukur struktur memunculkan pertanyaan baru: apakah organisasi dengan ukuran berbeda juga memiliki struktur yang berbeda? Apakah organisasi dengan tingkat penerapan teknologi canggih dibandingkan teknologi sederhana mempengaruhi strukturnya? Demikian juga, apakah kepemilikan mempengaruhi struktur organisasinya?
Selain mengukur struktur, Pugh menilai perlu mengukur aspek non-struktural. Sebagai panduan untuk mengukur dimensi konteks non-struktural Pugh menetapkan dimensi dasar dari konteks organisasi yaitu:
1. Asal-usul dan sejarah (origin and history) – apakah organisasi didirikan oleh swasta, apakah terjadi perubahan kepemilikan, dan lokasi yang menjadi sejarahnya
2. Kepemilikan dan kontrol (ownership and control) – jenis kepemilikan (swasta atau publik) dan apakah terkonsentrasi pada sedikit pemilik atau banyak pemilik
3. Ukuran (size) – jumlah karyawan, aset, posisi di pasar.
4. Teknologi (technology) – tingkat integrasi dalam proses kerja
5. Lokasi (location) – penyebaran cabang operasionalnya
6. Saling ketergantungan (interdependence) – seberapa jauh organisasi tergantung pada konsumen, pemasok, serikat buruh, dan kelompok pemilik lainnya.
Dimensi konteks ini memungkinkan peneliti mencari hubungan, misalnya, antara spesialisasi sebagai fungsi dari ukuran organisasi. Sejauh mana ukuran berasosiasi atau berhubungan dengan spesialisasi? Pugh mengukur korelasi antara ukuran dengan keseluruhan spesialisasi peran 0,75. Berarti ukuran akan mempengaruhi spesialisasi.
Kemudian bagaimana asal-usul dan sejarah organisasi mempengaruhi struktur atau dimensi struktur. Bagaimana hubungan antara ukuran, teknologi, lokasi, kepemilikan, dan saling ketergantungan, dengan dimensi struktur. Konteks menjadi faktor penentu.
Pengaruh teknologi pada organisasi
Apakah teknologi menentukan organisasi? Joan Woodward dalam bukunya “Management and Technology” menjelaskan adalah mungkin melacak hubungan sebab dan akibat antara sebuah sistem produksi dan pola organisasi, sehingga bisa memperkirakan persyaratan organisasi sebuah perusahaan sesuai dengan sistem produksinya.
Woodward mendapatkan kesimpulan itu dari hasil membandingkan unit-unit besar-kecil 80 perusahaan dan klasifikasi proses. Ia menemukan antara lain garis komando dari CEO pendek pada unit yang kecil dan panjang pada unit yang lebih besar.
Untuk mengukur pengaruh teknologi, menggunakan kategori Woodward, menggunakan dasar yang disebut “Workflow Integration” (Integrasi Proses Kerja). Workflow Integration terkait dengan jenis teknologi yang digunakan. Integrasi proses kerja yang tinggi ditentukan sifat teknologi peralatan yang digunakan dalam proses produksi.
Misalnya, jika perusahaan menggunakan peralatan berteknologi otomatis maka nilai integrasi proses kerjanya tinggi. Sebaliknya, jika prosesnya tidak otomatis, nilai integrasi proses kerja rendah. Contohnya, proses di pabrik rokok Sampurna. Proses pembuatan rokok putih berfilter menggunakan peralatan otomatis. Pembuatan rokok Djie Sam Soe tanpa filter manual tanpa mesin otomatis dan menggunakan keterampilan pelinting.
Apakah organisasi yang proses produksinya sangat berorientasi pada teknologi (nilai integrasi proses kerja teknologinya tinggi) akan juga tinggi nilai spesialisasinya, standarisasinya? Dari studi pertama, untuk perusahaan manufaktur saja, korelasi teknologi Woodward dengan standarisasi adalah 0,52. Bisa dibilang, teknologi manufaktur berkorelasi dengan struktur manajemen. Korelasi ukuran dengan spesialisasi (nilai korelasi 0,83) dan dengan standarisasi (nilai 0,65), lebih tinggi dibandingkan dengan nilai korelasi dengan teknologi.
Secara umum, hubungan teknologi dengan dimensi struktural pada organisasi manufaktur sangat kecil dan relatif tidak terlalu penting dibandingkan dengan konteks organisasi seperti ukuran dan saling ketergantungan dengan organisasi lainnya (seperti dengan pelanggan). Teknologi kecil pengaruhnya pada struktur organisasi. Kecuali, teknologi menunjukkan ada hubungan dengan struktur perusahaan manufaktur pada dimensi struktur konfigurasi. Pilihan teknologi akan berpengaruh pada banyaknya bawahan satu supervisor pada satu unit produksi masal perusahaan manufaktur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar